Buku Bulan Juni

Alhamdulillah, bulan Juni bisa kembali baca (banyak) buku.

Sesuai urutan selesainya, ada 12 buku yang saya baca di bulan Juni, yaitu:

  1. Lyle, Lyle, Crocodile: The Junior Novelization (2022) – Bernard Waber
  2. Sulung dan Nyonya Ai: Sebuah Perjalanan Menuju Pulih (2023) – Sulung Landung
  3. Sundari Keranjingan Puisi dan Cerita-Cerita Lainnya (2015) – Gunawan Tri Atmojo
  4. Claudia and the Genius of Elm Street – The Baby-Sitters Club #49 (1991) – Ann M. Martin
  5. Mary Anne to the Rescue – The Baby-Sitters Club #109 (1997) – Ann M. Martin
  6. Owly Vol.2: Just a Little Blue (2005) – Andy Runton
  7. Mind Your Own Business, Kristy! – The Baby-Sitters Club #107 (1997) – Ann M. Martin
  8. The Book You Wish Your Parents Had Read (and Your Children Will Be Glad That You Did) (2020) – Philippa Perry
  9. Pulang-Pergi: Yang Dibawa dan Ditinggalkan (2023) – Alexander Thian
  10. Don’t Give Up, Mallory! – The Baby-Sitters Club #108 (1997) – Ann M. Martin
  11. The Baby-Sitters Club Graphic Novel #11: Good-Bye Stacey, Good-Bye (2022) – Gabriela Epstein dan Ann M. Martin
  12. Jessi’s Wish – The Baby-Sitters Club #48 (1991) – Ann M. Martin

Bisa jadi karena lagi mood, punya waktu yang lebih luang, energi yang agak banyakan. Kalau dilihat-lihat, sebagian besar buku Juni ini adalah buku baru -errr, padahal tumpukan buku yang menanti dibaca makin tinggi-, jangan-jangan karena itu semangat membaca jadi tinggi.

Seru banget bacaan Juni, karena saya banyak bernostalgia dengan The Baby-Sitters Club (BSC)! Seri ini adalah salah satu comfort read saya, nih. Jadi, saya lumayan ambisius untuk mengoleksi semua judulnya. Buku bekas nggak masalah, makin jadul malah makin asyik.

Koleksi The Baby-Sitters Club

Selain nostalgia sama bacaan masa kecil, banyak juga pengalaman membaca baru yang saya rasakan di bulan Juni. Ada perasaan lega sekaligus tertampar saat menyelesaikan The Book You Wish Your Parents Had Read. Perasaan puas saat baca Lyle, Lyle Crocodile dan Owly, karena dapat diskon lumayan. Dan, pengalaman baru banget menikmati The Baby-Sitters Club secara visual warna-warni, karena baca yang versi graphic novel.


Dari 12 buku yang saya baca, ada dua yang jadi highlight. Yang mana aja?

Don’t Give Up, Mallory (The Baby-Sitters Club #108) – Ann M. Martin, 1997

Saya suka baca ini, karena tokoh Mallory-nya berasa mirip saya banget. Mallory Pike sebenarnya bukan tokoh BSC favorit saya. Kesukaan saya adalah Claudia Kishi dan Stacey McGill. Cuma, di buku ini diceritain bahwa Mallory mengambil kelas Children Literature di sekolahnya (ya ampun, iri banget ada pilihan kelas itu di tingkat sekolah dasar/ menengah). Sebagai bagian dari kegiatan di kelas itu, kesebut lah beberapa buku cerita anak yang saya tahu. Interaksi di kelas dan tugas-tugas Mallory juga seru-seru banget, bahkan ada beberapa yang saya ‘contek’.

“In your classes, you will be analyzing children’s literature, focusing particularly on illustrated books.”
PLIS MAU BANGET IKUT KELAS INI!

Spending weeks studying children’s literature is indeed heaven

Goodnight Moon by Margaret Wise Brown❤️

Habis baca ini, saya jadi kepikiran bahwa segitu luasnya, ya, ‘jangkauan’ seri BSC ini. Entah disengaja atau tidak, tapi terasa bahwa buku ini merangkul banyak aspek, tapi nggak dipaksakan. Dan, ini bukan baru-baru aja, lho. Judul-judul pertama seri ini udah banyak pesan kesetaraan dan keragamannya. Claudia Kishi diceritakan sebagai murid yang tidak unggul secara akademis, tapi jago banget di bidang seni. Ada Kristy Thomas yang ditinggalkan begitu aja sama ayah kandungnya, kemudian ibunya menikah lagi, jadi Kristy punya ayah sekaligus saudara tiri. Terus, ada Stacey McGill dengan diabetesnya. Belum lagi Jessi Ramsey yang berkulit hitam dan diceritakan mengalami perlakuan rasis dari tetangga-tetangganya.

Pesan-pesan ini -kalau memang mau dianggap sebagai pesan yang sengaja disematkan- saya rasa masih sangat relevan dan penting banget sampai sekarang. Apalagi diceritakan dengan mengalir banget. Hebat kamu, Ibu Ann M. Martin!


The Book You Wish Your Parents Had Read (and Your Children Will be Glad That You Did) – Philippa Perry, 2020

SETAHUN LEBIH BACA BUKU INI! Ini buku yang dibacanya harus pelan-pelan, mindful, nggak boleh kemrungsung. Buat saya, baca buku ini juga sekaligus jadi sarana berefleksi, terutama buat hubungan dengan orang tua, pasangan, murid, dan basically hubungan dengan orang lain secara umum. Mungkin itu juga salah satu alasan mengapa buku ini lama banget bacanya. Saya banyak berhenti-berhentinya. Bisa karena ada bagian yang cukup triggering, enggan untuk merasa tidak nyaman, karena seolah harus berhadapan dengan diri sendiri, atau yaaa, karena ada godaan buku lain yang lebih menarik hati.

Tantrum: nggak selalu buruk
Sebuah pengingat

Buku ini enak dibaca dan mudah dimengerti. Banyak juga contoh kasus sederhana buat memperjelas sudut pandang dari topik yang dibahas. Insight-insight yang didapat juga jelas dan nggak menggurui.

Catatan saya banyak banget dari buku ini. Ada yang memang hal baru banget, ada juga yang sifatnya sebagai reminder. Saya (kayaknya) udah tahu, tapi perlu diingatkan lagi.

Sampai jumpa di review buku bulan Juli!

#OOTD Hari Gini

Sudah dua bulan #DiRumahAja, apa kabar semua?

Munculnya Covid-19 membawa kita ke rutinitas baru. Sama seperti sebagian besar orang, saya juga kerja dari rumah, jadi lebih rajin berjemur, cuci tangan, mandi, ganti baju, dan mengurangi banget ke luar rumah.

Di minggu ketujuh-kedelapan, saya mulai jenuh dan merasa “Wah, sesekali harus keluar rumah sih nih, kalo enggak bisa cranky...”  Mal atau duduk-duduk manis di kafe tentu saja bukan jadi pilihan sekarang, yang paling masuk akal adalah ke supermarket buat belanja kebutuhan sehari-hari.

Jadi, supermarket lah tujuan saya.

Selama dua bulan di rumah, saya ke luar rumah paling jauh ya ke supermarket itu. Ada Food Hall di dekat rumah, jaraknya sekitar 7-8 kilo. Selama dua bulan di rumah, tiga kali saya ke sana.

Ada lagi yang beda. Nggak lagi mikirin pake tas apa, sepatu apa, baju apa. Baju udah pasti yang dipake saat itu. Ganti aja atasan atau bawahan supaya lebih proper dikit. Nah, tasnya adalah tas belanja dari bahan spunbound beli di Grand Lucky. Alas kaki udah pasti sandal jepit yang resmi saya jadikan “sandal jepit khusus di luar”. Matching atau enggak? Saat ini bukan prioritas dulu.

Suatu hari, lha lumayan nih padu padannya? Ala-ala color block gitu. Padahal nggak sengaja, nih 🙂

IMG_8458

5 warna dalam satu outfit! Harusnya melanggar kode berbusana nih, tapi kok oke-oke aja, ya? 

Rano Karno Fans Club

Na Willa ketiga sudah terbit! Judulnya, Na Willa dan Hari-hari Ramai. Warna sampulnya bagus sekali 🙂

Seperti kedua seri Na Willa sebelumnya, saya semangat banget untuk membaca. Apalagi yang ketiga ini, sudah mulai muncul rasa penasaran, apa yang akan terjadi pada Na Willa selanjutnya. Sudah mulai relate dengan Na Willa.

Benar saja. Di buku ini, saya banyak menemukan kemiripan peristiwa yang dialami Willa dengan pengalaman saya. Mungkin karena sama-sama di Jakarta, mungkin karena Willa dan saya sama-sama suka bawa buku kemana-mana, mungkin karena Pak dan ayah saya juga sama-sama suka ngobrol-ngobrol sama teman-temannya, mungkin karena sama-sama pernah belajar berhitung pakai buku Cerdas Tangkas.

Tapi, yang paling mirip adalah: saya dan Willa sama-sama penggemar Rano Karno.

Senyum saya lebar banget, bahkan beberapa kali tertawa saat baca bab “Rano” di halaman 92. Saya jadi keinget lagi tingkah polah saya saat kecil dulu -kira-kira saat SD- sebagai penggemar Rano Karno. Lucu aja saat tahu bahwa ada orang lain juga yang ngefans sama Rano Karno, bahkan sampai dibuatkan satu bab khusus!

“… Aku tanyakan kepada Tony, bagaimana caranya aku bisa bertemu Rano. Dia bilang, barangkali aku harus datang ke rumahnya. Di mana?” (Na Willa dan Hari-hari Ramai, hlm. 93).

Well, Willa. Saya tahu rumahnya Rano Karno, lo! Malah, beberapa kali saya lewati.

Saat SD dulu, saya ikut antar jemput. Salah satu teman seperantarjemputan saya, tinggalnya di sebuah perumahan di wilayah Karang Tengah, Lebak Bulus. Saya lupa gimana caranya, pokoknya saya tahu Rano Karno dulu rumahnya juga di perumahan itu. Bahkan tahu rumahnya yang mana. Yang indahnya lagi, deketan sama rumah temen saya. Jadi, ada lah beberapa momen memalukan, tiap ngelewatin rumahnya Rano Karno, saya buka kaca, memandang dengan berbinar-binar, sambil teriak “Om Ranooo..!” Astagfirullah!

“… Di sekolah, yang suka Rano Karno banyak sekali. Teman-teman membeli kartu pos bergambar Rano di gerobak tukang mainan di depan sekolah. Siapa saja yang punya gambar barunya, pasti memamerkannya pada yang lain.” (Na Willa dan Hari-hari Ramai, hlm. 93).

Nah, pengalaman Willa yang ini agak beda, nih, dengan pengalaman saya. Seingat saya, dulu nggak ada (atau jarang) ada anak yang ngefans sama Rano Karno, deh. Di sekolah saya, kayaknya hanya saya. Yaa, nggak umum kali, ya, anak kecil ngefans sama (bisa dibilang) om-om 🙂

Rano Karno dulu juga penyanyi. Beliau punya album rekaman yang tentunya, saya punya, dong, kasetnya! Belinya di Pasar Blok M. Lagu yang terkenal dan jadi favorit saya adalah Bukalah Kaca Matamu. Diputar terus sampai hafal lagunya. Ketika saya dengarkan lagi baru-baru ini, saya masih hafal! Ya liriknya, ya melodinya. Buat yang penasaran, ada di Spotify lagunya, bisa klik langsung.

“… Tapi aku lebih kaget lagi. Karena salah satu dari tiga anak laki-laki itu adalah RANO KARNO! Ya, Rano Karno yang fotonya ada di pintu lemariku!” (Na Willa dan Hari-hari Ramai, hlm. 95).

Wih, asik sekali bisa bertemu idola, Willa! Soal ketemu-ketemu ini, saya lupa, pernah ketemu Rano Karno apa enggak. Dulu, sih, pas saya panggil-panggil di depan rumahnya, beliau nggak keluar (fiuh…). Kayaknya, sempat, sih, sekelebatan lihat di mana, gitu. Tapi, ya udah gitu aja. Nggak sampai berinteraksi dekat seperti Na Willa.

Saya senang baca Na Willa dan Hari-hari Ramai ini. Banyak tokoh baru yang seru-seru. Ilustrasinya juga menggemaskan, seperti biasa. Terima kasih, Mbak Reda Gaudiamo, untuk ceritanya. Terima kasih, Cecillia Hidayat, untuk gambar-gambar manisnya.

Mr. Neil Gaiman, Kita Sependapat!

Suatu sore, saya berkunjung ke POST Santa. POST adalah sebuah toko buku independen yang berlokasi di Pasar Santa, Jakarta Selatan. Di sana, saya menemukan buku menarik berjudul Kenapa Masa Depan Kita Bergantung pada Perpustakaan, Membaca, dan Melamun? Nama Neil Gaiman yang tertera pada sampul bukunya menambah ketertarikan, sekaligus rasa penasaran saya. Tanpa pikir panjang, saya langsung  mengambilnya karena judul yang menarik dan menggelitik itu.

Buku ini ternyata dijuduli dari pidato yang dibawakan Neil Gaiman pada acara Reading Agency di London tahun 2013, Why Our Future Depends on Libraries, Reading, and Daydreaming. Dari paragraf pertama saja, saya sudah terbawa mengangguk-angguk sembari sesekali berhenti dan mencerna sekaligus berefleksi. Tak jarang stabilo akhirnya tertoreh untuk menandai bagian-bagian yang saya anggap penting. 

Pengalaman Membaca

Kutipan Gaiman di atas cukup mengagetkan saya. Bukan apa-apa, mungkin karena saya tidak menyangka pendapat seperti itu keluar dari seorang Neil Gaiman. Saya berpikir Neil Gaiman sama seperti karya-karyanya, agak “gelap” dan suram. Maaf, ya, Pak Gaiman! 

Gaiman juga menyebut tentang membaca sebagai aktivitas yang menyenangkan. Bagian ini membuat saya tersenyum simpul, karena inilah yang juga saya yakini selama ini. Baik dalam ranah kehidupan pribadi, maupun lingkup profesional sebagai guru dan pustakawan. 

Tak pelak, buku ini mengingatkan saya pada pertanyaan-pertanyaan yang sering saya terima, seperti: 

“Bagaimana, sih, membuat anak suka membaca?”

“Bagaimana, sih, meningkatkan minat baca?”

“Saya sudah belikan anak saya banyak buku, tapi dia tetap tidak mau baca. Apakah saya salah belikan bukunya?’ 

Khusus untuk pertanyaan terakhir, saya biasanya menambahkan jawaban “Iya, ada kemungkinan itu, Bu.” 😬✌🏻 

Sedangkan untuk pertanyaan lain, jawaban saya selalu sama; anak butuh teladan membaca. Sudahkah Ibu atau Bapak melakukannya? Minat baca bukan sesuatu yang otomatis muncul ketika anak mencapai usia tertentu. Untuk menumbuhkannya, dibutuhkan usaha yang dilakukan dengan sengaja. 

Mari kita cermati ungkapan “Suka membaca”. Dengan adanya kata ”suka” di awal berarti membaca perlu dimaknai sebagai hal yang membahagiakan, menenangkan, menarik hati, dan menggugah perasaan. Maka, pertanyaan lanjutannya adalah: “Bagaimana kita mengusahakan pengalaman dan kesempatan membaca bagi anak?” Jika kita kembali pada pendapat Gaiman, “Kita perlu menunjukkan kepada mereka bahwa membaca adalah aktivitas yang menyenangkan.” 

Praktiknya cukup sederhana, kita juga perlu membaca. Kita butuh menikmati kegiatan membaca itu, kita harus bersemangat ketika membicarakan buku, kita tidak merasa terbebani saat membaca, semua itu karena kita butuh membaca. Baca saja buku yang kita suka, tidak harus selalu buku anak-anak. Toh yang akan ditangkap oleh anak adalah emosi dan perasaan kita saat membaca, bukan judul bukunya. 

Saya adalah seorang guru dan pustakawan. Istilahnya, teacher librarian. Saya sering membawa novel yang sedang saya baca ke sekolah. Saat sedang bekerja, novel tersebut saya letakkan saja di meja. Jujur saja, memang ada tujuan terselubung. Saya ingin menunjukkan kepada murid-murid bahwa saya seorang pembaca.  Saya merasa perlu menjadi contoh yang baik. Murid-murid yang tertarik dengan novel saya, biasanya akan mengamat-amati sampul mukanya, ilustrasinya, bahkan kadang bertanya tentang ceritanya. Pernah juga saya ditanya, “Sudah selesai belum baca bukunya? Kok, lama banget?” Aduh, jadi tersindir, kan, saya? Tetapi tidak apa-apa. Pertanyaan yang terus menerus itu pertanda ketertarikan mereka. 

Keputusan untuk Membaca

Ada hal yang menarik dari kutipan di atas; ’menemukan’, ‘memberi akses’, dan ‘membiarkan’. Bagian ini yang membuat saya berpikir lama. Ketiganya adalah tugas penting bagi kita sebagai orang dewasa di sekitar anak. Tugas ini tidaklah mudah. 

Saya merasa beruntung karena memiliki kesempatan mengelola sebuah perpustakaan sekolah. Dalam pekerjaan itu, ruang interaksi saya bersama anak-anak luas sekali sehingga bagian ‘menemukan’ buku yang disukai anak tidak terlalu sulit buat saya. Saya cukup bertanya kepada mereka. Pekerjaan rumah besar berikutnya sebenarnya terletak pada kedua “tugas” lainnya. Memberi akses tidak berarti sekadar menyediakan buku begitu saja, lalu selesai. Memberi akses, bagi saya, berarti juga menyediakan sebuah wadah eksplorasi dan memberikan pilihan bagi anak. 

“Bu, ada buku tentang kereta, nggak?”, “Bu, aku mau buku seram!”, “Aku sukanya buku hewan lucu-lucu”, “Bu, mana buku superhero?”

Dan 3544955804840 permintaan lainnya. 

Tentu saja, tidak semua permintaan mereka dapat dipenuhi. Namun, di situlah tantangannya. Saat buku yang mereka inginkan tidak ada, saya biasanya mengarahkan anak-anak itu ke topik yang mirip-mirip. 

“Buku yang spesifik tentang kereta tidak ada, tapi ada buku tentang transportasi. Kereta dibahas juga di situ, walau tidak banyak. Kamu mau coba lihat dulu?” 

Atau “Buku seram ada, tapi novel. Kalau kamu mau lihat gambar seram, cuma ada di bagian depan dan belakangnya kayak gini. Mau lihat?” 

Nah, ini akan jadi bumerang buat saya kalau akhirnya mereka minta dibacakan ceritanya! Lumayan lo, membacakan satu novel Goosebumps ke murid TK! Ini sungguh kejadian nyata. Untung saja saat baru satu halaman dibacakan, mereka sudah bosan dan minta dibacakan bagian belakangnya saja. Saya pun bisa menarik napas lega 

Pilihan, pada akhirnya tetap ada di tangan mereka, entah mau dibaca atau tidak, mau lanjut baca atau tidak, mau dipinjam atau tidak. Keputusan-keputusan tersebut tentunya sudah melalui serangkaian proses berpikir dan pengalaman yang mereka dapatkan di ruang perpustakaan. Pertanyaan “Kamu mau lihat dulu?” sungguh lah besar maknanya.Selain anak akan merasa didengar dan dianggap berharga, mereka juga menambah pengetahuan akan alternatif buku yang ada.

Biarkan Anak Memilih Bukunya Sendiri

Bagaimana kalau (buku) pilihan kita tidak disetujui anak? Ya, tidak apa-apa. Ini kan semua tentang mereka dan bukan tentang kita, kan? Kalau kata Pak Gaiman, ini tentang “buku-buku yang mereka sukai.” Tidak ada salahnya seorang anak lebih memilih komik daripada ensiklopedi pengetahuan, mengambil buku cerita fantasi dan bukan kisah teladan, serta lebih berbinar-binar saat membaca Diary of a Wimpy Kid daripada 50 Cerita Anak Penguat Karakter. Ups!

Apa sih sebenarnya hal terburuk yang bisa terjadi kalau anak-anak membaca buku yang mereka sukai? Saya mungkin tidak bisa menjawab itu dengan pasti, tapi saya yakin akan satu hal terbaiknya: anak menemukan kesenangan membaca. 

Jangan salah, baca komik itu butuh keterampilan tersendiri, lo! Mereka harus bisa memaknai gambar, harus tahu arah bacanya, harus sangat bisa paham konteks. Thierry Groensteen dalam bukunya The System of Comics menyebutkan adanya kemampuan semiotika, kemampuan dekoding, juga kemampuan literasi visual yang terlibat dalam proses membaca komik. Kalau kita mau meminjam istilah zaman sekarang, baca komik itu “literasi banget”. Semua skill yang dibutuhkan untuk berliterasi ada di situ. 

“Jadi, apakah kita (orang tua atau guru) tidak boleh memilihkan buku untuk anak?” Tentu saja boleh! Anak-anak masih perlu pendampingan, butuh dipaparkan terhadap banyak hal, butuh mencoba pengalaman baru. Itu datang dari kita, orang dewasa yang sudah lebih dulu dan lebih banyak merasakan serta mencoba sesuatu. Tapi kita harus juga mengingat, anak-anak mempunyai ruang berkembangnya sendiri yang jauh berbeda dari ruang kita. Sebagai manusia berakal, mereka tentu punya minat mereka sendiri, yang -lagi-lagi- bisa jadi berbeda dari kita. Untuk bisa menerima itu semua, tentu dibutuhkan kebesaran hati. Saat anak sudah mulai tertarik membaca, alangkah menyenangkannya jika mereka bisa beranjak dari buku yang mereka sukai tanpa dibebani dengan aneka syarat ini dan itu. Harus langsung dibaca lo! Harus selesai! Harus ingat ceritanya, harus ada yang bisa dicontoh, dan harus-harus lainnya. Wah, bagaimana mereka bisa menemukan  kesenangan membaca kalau baru mau mulai saja sudah banyak terms and condition-nya?

Membiarkan Anak Membaca

Tugas ketiga kita adalah membiarkan mereka membacanya. Salah satu miskonsepsi yang cukup sering saya temui adalah orang tua berhenti pada membelikan anak buku. Mereka menganggap tugas mereka sudah selesai dan anak dibiarkan membaca sendiri. Lo, katanya kita harus membiarkan mereka membaca? Membiarkan anak membaca bukan sekadar membelikan lalu  ditinggalkan membaca sendiri. Kita masih perlu hadir mendampingi anak. Tentu saja ‘level” kehadiran kita perlu disesuaikan dengan usia atau kemampuan membaca anak; dari mulai membacakan (read aloud), membaca bersama, sampai menjadi rekan diskusi anak. 

Membiarkan, akan tetapi, juga bukan berarti memberikan begitu saja buku yang mereka mau. Tentu saja ada batasan-batasan yang perlu dipertimbangkan, biasanya seputar topik/isi yang belum sesuai dengan usia anak atau bukunya belum cocok untuk si anak. Contohnya, ada seorang murid kelas 2 yang suatu hari mau meminjam buku Harry Potter yang ke-7. Buku ini super tebal dan ceritanya sendiri terlalu kompleks untuk anak kelas 2 SD. Anak ini baru saja kenal dengan Harry Potter, sehingga ia sedang semangat-semangatnya dengan hal-hal yang berbau Harry Potter. Sebagai pustakawan dan pendidik, saya merasa anak ini belum bisa menikmati buku yang ketujuh. Buku ini terlalu tebal, tidak banyak gambarnya, dan alur ceritanya terlalu rumit. Saya ajak dia untuk mengamati buku itu lebih rinci. Kami membuka-buka seluruh halamannya sambil mengobrol bahwa buku ini sebenarnya sasarannya adalah untuk “kakak-kakak”, karena Harry juga sudah kakak-kakak di buku itu. Setelah itu, saya memberinya pilihan untuk meminjam Harry Potter yang pertama atau kedua saja.

Buku “Baik” vs Buku “Buruk”

Lagi-lagi saya setuju dengan Neil Gaiman sampai ingin mengajak beliau tos🙏🏻 Buat saya, semua buku punya pesannya masing-masing. Masalah pesannya baik, buruk, positif, negatif, dangkal, dalam, tidak menjadi masalah. Kumpulan cerita humor atau tebak-tebakan tidak lebih buruk dari cerita fiksi. Lagi pula, apa sih sebenarnya indikator baik dan buruknya cerita? Apakah cerita baik memiliki tokoh anak baik sopan rajin menabung penurut tanpa cela? Dalam kehidupan nyata, adakah tokoh seperti itu? Apakah sama sekali tidak ada hal berguna yang bisa diambil dari komik Captain Underpants atau Dog Man? Bukankah kita perlu tahu hal buruk supaya bisa mengetahui hal baik? Apakah salah jika anak membaca buku yang itu-itu lagi?

Salah satu murid saya kebetulan sedang senang membaca komik Lucky Luke dan Agen Polisi 212. Tiap ke perpustakaan langsung ambil komik itu, lalu baca dengan tenang sambil cekikikan sampai waktu habis. Ia tidak lantas meniru kecerobohan Lucky Luke atau berbuat kejahatan seperti Dalton Bersaudara. Saya juga punya murid lain yang selalu ingin meminjam buku Smong, Si Raksasa Laut berkali-kali. Dia juga tidak jadi penakut atau berlaku kasar, karena membaca buku tentang monster. Seorang murid penggemar komik Captain Underpants juga tidak meniru mentah-mentah kebiasaan sang tokoh utama, Cuma pakai celana dalam ke mana-mana. Ia tahu bahwa itu hanya cerita dan tidak pantas untuk dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Buku “Smong, Si Raksasa Laut” kesukaan salah satu murid saya. Tiap ke perpustakaan selalu pinjam buku ini.

Anak mampu berpikir sendiri. Tidak serta-merta meniru begitu saja hal yang mereka baca dan lihat. Jika anak dirasa belum mampu, kita bisa masuk untuk mendampingi.

Selamat menghadirkan pengalaman membaca yang menggairahkan, baik untuk diri sendiri, maupun untuk orang-orang di sekitar kita, terutama anak-anak!

Terima kasih banyak kepada Mas Chrysogonus Siddha Malilang yang telah membantu menyunting tulisan ini, memberikan masukan, dan memantik pemikiran saya dengan pertanyaan-pertanyaannya. 

Buku-buku September 2021

Senang sekali karena di bulan September kemarin, saya masih banyak membaca. Minatnya masih ada, waktu dan energinya juga masih ada. Total ada 12 buku yang terbaca. Hore!

Seperti biasa, ada buku yang memang baru dibeli, ada juga stok lama yang selama ini bertengger di rak buku, menanti untuk dibaca. Ada rasa puas dan bangga kali, ya… ketika buku-buku stok lama itu akhirnya dibaca juga.

Lho, kok, di fotonya hanya ada 10? Iya, karena ada dua buku yang nggak ikut terfoto. Ada Digital Minimalism (akhirnya, selesai juga!) dan Si Samin. Digital Minimalism saya baca dalam format buku elektronik, sementara Si Samin… Nah, ini dia! Kok, saya cari-cari buat difoto nggak ketemu, ya?

Ada 2 buku yang sudah saya miliki sejak lama, yaitu Sukreni Gadis Bali (A.A Pandji Tisna) dan Orang-orang Proyek (Ahmad Tohari). Sisanya, errrr… baru beli!

Jadi, buku apa yang jadi favorit saya? “Favorit” ini bisa jadi macam-macam interpretasinya. Nggak melulu soal menikmati ceritanya, tapi bisa jadi soal pengalaman, rasa ketika membaca, bahkan dari mana saya mendapatkan bukunya. Dog Man Unleashed, misalnya. Itu buku bekas, tapi masih layak baca banget. Saya selalu suka berburu buku bekas. Seneng banget kalau akhirnya bisa dapet! Saya beli Dog Man Unleashed ini, karena saya cukup menikmati baca yang pertama, terus pengen baca lagi. Tapi, nggak mau beli mahal-mahal. Well, secondhand book it is!

“Sukreni Gadis Bali” punya pengalaman tersendiri buat saya. Nama pengarangnya, sih, yang membuat saya teringat pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP dulu. Guru saya, Pak Suradi, memperkenalkan aneka sastra Indonesia, seperti Balai Pustaka, Poedjangga Baru, Angkatan 66. Nama Anak Agung Pandji Tisna dulu pernah disebut. Keinget terus sampai sekarang. Jadi, ketika baru sadar bahwa ternyata saya punya bukunya, kayak flashback dan membuat saya memutuskan untuk baca.

“Apartment 1986” juga punya cerita yang menarik. Buku ini saya beli secara daring di Tokopedianya Big Bad Wolf. Latar kota New York jadi faktor utama saya beli buku ini. Ceritanya bagus juga. Ini masuk genre young adult fiction, genre yang memang sedang saya “dalami”, karena ingin punya lebih banyak referensi.

Saya menggemari novel-novel karangan Ahmad Tohari. “Orang-orang Proyek” akhirnya selesai juga saya baca. Dulu sekali, saya pernah pinjam dari iJak, aplikasi perpustakaan digital. Namun, entah karena lupa atau malas, bukunya nggak selesai-selesai dibaca, sampai akhirnya waktu peminjamannya habis. Cerita dalam novel “Orang-orang Proyek” ini relevan sekali dengan keadaan zaman sekarang. Khasnya Ahmad Tohari, kan, memang menyoroti potret sosial warga menengah ke bawah. Kehidupan sosial buruh proyek menjadi latar utama cerita ini. Praktik korupsi, kebiasaan “asal bapak senang’, dan pengelolaan dana pemerintah yang asal-asalan tergambar secara jelas. Kadang, senyum-senyum dan geleng-geleng sendiri bacanya, karena masih ada banget, niih, di tahun 2021 ini!

Akhirnya, dengan bangga saya bisa bilang bahwa saya selesai baca “Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World” (Cal Newport). Kenapa lama, ya? Well, saya nggak begitu menikmati membaca buku ini, sih. Banyak bagian yang terlalu panjang dan mungkin nggak terhubung sama saya. Jadinya bosen. Tapi, ada banyak poin juga yang bisa diambil. Saya baca buku ini karena latah, waktu itu lihat Marisa Anita baca dan merekomendasikan buku ini. Kebetulan, saya juga sedang berusaha mengurangi screen time dan interaksi di media sosial. Di titik tertentu, saya merasa “hubungan” saya dengan media sosial udah nggak begitu sehat.

Ada beberapa tips yang bisa dipraktikkan dari buku ini. Cukup lega mengetahui bahwa ternyata, saya sudah melakukan atau seenggaknya mencoba melakukan beberapa di antaranya. Satu poin menarik yang saya ambil adalah coba cari kegiatan hands-on yang bermakna. Nggak hanya buat mengalihkan kita dari keinginan pakai gawai, tapi juga membangunkan sense of accomplishment dari diri kita.

Sebenarnya, yang disarankan adalah benar-benar membuat sesuatu, kayak bertukang, menjahit, merakit sesuatu, pokoknya menghasilkan benda. Well, pelan-pelan dulu, ya! Buat saya, kayaknya kalau langsung bikin-bikin begitu agak belum memungkinkan. Akhirnya, saya cari alternatif lain, yaa pokoknya aktivitas yang menggunakan tangan. Saya pilih menyampul buku. Semua buku di rumah saya sampulin. Miris juga, punya buku bagus banyak banget, kok, nggak ada yang disampul.

Nggak tahu juga, deh, apakah itu sesuai dengan maksudnya si Cal Newport. But, it works for me! Saya jadi sibuk, tangan kepake, dan ada rasa senang-puas gitu melihat buku-buku saya tersampul rapi.

“Dog Man Unleashed”, “Apartment 1986”, “Anak Rembulan”, “Friska dan Sekolah Barunya”, dan “Grave of the Fireflies” bisa dibaca oleh anak-anak, mulai dari kelas 4 SD. “Orang-orang Proyek” bisa dibaca mulai di kelas 8 atau 9. “Sukreni Gadis Bali” bisa menjadi bahan diskusi yang menarik di level SMA.

Sampai jumpa di cerita buku-buku Oktober!

Mencoba Keyboard Portabel

Tulisan ini diketik dengan keyboard portabel yang baru saya beli. Baru banget sampai di rumah, langsung unboxing, langsung dicoba, dan bisa!

Apa keistimewaannya? Yaa, kalau buat saya, keistimewaannya adalah saya baru pertama kali pakai keyboard portabel. Udah gitu, warnanya merah muda, lagi! Jadi, lebih spesial lagi.

Ternyata, not bad at all. Saya perlu melakukan beberapa penyesuaian diri, sih.. Biasanya, kan, pakai trackpad kalau di laptop. Nah, sekarang nggak ada.. tetikus juga nggak pakai.

Saya beli merek Robot, nama produknya adalah Multi-Device Connection Bluetooth Wireless Keyboard KB10. Memutuskan beli yang ini setelah melihat tagar di sebuah akun Twitter yang saya ikuti. Cepet juga ini datangnya, nggak sampai 24 jam udah datang.

Keyboard ini rencananya saya gunakan bersama iPad. Sebenarnya, kayaknya bisa juga kalau dipakai di laptop. Nanti, deh, saya coba.

Semoga keyboard ini membantu saya buat lebih produktif, ya! Semoga juga lebih banyak tulisan yang dihasilkan dari kombinasi iPad dan keyboard merah muda ini.

Buku-buku Agustus 2021

Senang sekali mengetahui bahwa di bulan Agustus 2021 ini saya telah membaca 12 buku.

Mengapa senang? Karena kayaknya ini jumlah buku terbanyak yang saya baca setiap bulannya. Menyenangkan lagi juga karena membacanya mindful, terasa banget ini dilakukan untuk kesenangan.

Apa saja yang saya baca?

Tiga buku lainnya ada The Story Seeker: A New York Public Library Book (Kristen O’ Donnell Tubb), Where the Crawdads Sing (Delia Owens), dan Emak (Daoed Joesoef).

Mayoritas buku yang saya baca adalah fiksi. Minatnya lagi ke situ, kayaknya. Saya memang lagi fokus sama cerita anak, sih. Untuk referensi mengajar atau sebagai rekomendasi untuk guru-guru di sekolah. Cara yang saya lakukan adalah baca fiksi sebanyak-banyaknya, baru kemudian saya bisa menyimpulkan kira-kira buku-bukunya sesuai untuk anak-anak kelas berapa.

The ACB of Honora Lee dan The Story Seeker bisa dibaca anak-anak kelas 3-5 SD. Garuda Gaganeswara, Dari Hari ke Hari, dan Sangkan Paran, cocok untuk kelas 5-7. Novel Emak juga bisa dibaca anak kelas 6 sampai sekitar kelas 8 atau 9.

Semua buku juga punya kesan masing-masing. Dog Man saya baca karena ada rencana mau melakukan proyek bersama murid. Buku komik seperti Dog Man ini sebenarnya bukan favorit saya. Bukannya nggak suka, tapi biasa aja. Saya coba baca, eh, ternyata bagus juga! Gambarnya (terlihat) sederhana, tapi ceritanya lumayan dalam juga. Saat ini, Dog Man yang kedua, Unleashed, sedang dalam perjalanan menuju ke rumah saya. Hahaha! Ketagihan!

Novel Emak, saya suka banget. Saya selalu suka novel yang menceritakan latar tempatnya dengan sangat rinci dan kuat. Nah, novel Emak itu cara berceritanya begitu. Penggambaran tiap karakternya juga sama kuatnya. Tadinya, novel ini saya baca untuk keperluan pekerjaan saja. Ternyata, saat baca, sama sekali nggak terasa ‘buat kerjaan’, malah sangat menikmati dan.. tahu-tahu selesai!

Menutup bulan Agustus, saya baca Where the Crawdads Sing-nya Delia Owens. This is so good! Novel ini sebenarnya sudah saya miliki sejak lama, tapi yaaa… baru dibaca sekarang. Salah satu pemicunya adalah melihat book recap-nya Nadila Dara di Instagram. Dia menceritakan buku ini dan saya langsung tertarik banget buat baca. Makasih, lho! Hahaha..

Where the Crawdads Sing, menurut saya, gabungan antara nature writing, sedikit misteri, ada cinta-cintaannya juga sedikit, masalah keluarga, dan ini, nih, yang paling saya suka: perempuan berdaya. GRL PWR.

Tokohnya bernama Kya, yang seumur hidupnya bisa dibilang tinggal terpencil di sebuah rawa. Banyak prejudis yang ditujukan pada dia oleh warga. Bukan hanya itu, Kya juga tinggal sendirian. Bisa dibilang, semua hal dipelajarinya sendiri, alam menjadi guru utamanya. Paling seneng ketika bagian Kya akhirnya jadi penulis dan menerbitkan buku tentang aneka kehidupan flora dan fauna di rawa. Keren!

Buku-buku untuk dibaca di bulan September tentunya sudah menanti. Ada buku yang agak saya paksa harus selesai di bulan September, soalnya udah kelamaan banget nggak selesai-selesai. Digital Minimalism-nya Cal Newport. Ini juga sebagai pengingat bagi saya untuk lebih rapi lagi membagi waktu untuk bermedia sosial. Mudah-mudahan segera selesai, ya!

Mencoba Pembalut Kain

Sekitar sebulan yang lalu, saya mencoba pembalut kain.

Sebenarnya, sudah sejak lama saya tahu ada produk yang namanya pembalut kain, tapi, dulu saya pikir akan terasa tidak nyaman, rentan tembus, dan repot.

Suatu waktu, saat sedang lihat-lihat Instagram, ada akun yang membagikan pengalamannya menggunakan pembalut kain. Nah, baru, deh, saya mulai tertarik. Pemicu lain sebenarnya soal lingkungan juga, sih. Saya sadar betul pembalut yang biasa saya pakai itu merupakan sumber sampah sebab sangat sulit (atau bahkan tidak bisa?) terurai. Namun, saya merasa tidak ada pilihan lain selain pakai pembalut seperti itu.

Menstrual cup? Saya punya 3. Sampai sekarang masih belum berhasil menggunakannya dengan benar.

Jadi, saya coba, deh, si pembalut kain ini. Belinya di Sustaination. Makin tertarik lagi karena desainnya lucu-lucu! Saya coba dulu dengan pantyliner, belum langsung pembalut. Yaah, buat latihan supaya terbiasa dulu, deh.

Ternyata, nyaman-nyaman aja, tuh! Malah terasa lebih nyaman daripada pantyliner yang selama ini saya gunakan. Mungkin karena perbedaan bahannya, ya. Pemakaiannya juga mudah, tinggal dikancingkan saja. Habis dipakai, langsung cuci. Keringnya juga cepet.

Pantyliner

Pembalutnya juga kurang lebih sama. Cara pakainya sama dan rasanya nyaman juga. Kalau pembalutnya ada lebih dari satu ukuran, seperti yang standar atau night-nya kali, ya. Pembalutnya ini tentunya lebih lebar, panjang, dan tebal, ya. Bagian atasnya seperti bahan flanel dan di dalamnya ada lapisan handuk. Bagian bawahnya (yang kalau di pembalut biasa, bagian lemnya) terbuat dari bahan yang licin. Kayak parasut, tapi lebih kaku sedikit.

Bagian dalam pembalut

Sejauh ini, saya senang-senang saja pakai pembalut dan pantyliner kain. Lebih nyaman dari pembalut buatan pabrik/ yang selama ini saya pakai. Kalo soal tembus, yaa tergantung volume darah dan posisi pembalutnya juga, sih. Pakai pembalut biasa juga bisa tembus, kan?

Kelemahannya? Hmmm, kalau mau dibilang kelemahan, ya paling saat mencucinya aja, sih. Harus berkali-kali. Ya, namanya juga noda darah. Pembalutnya, kan, juga tebal, jadi proses memeras juga lumayan menantang. Nah, kalau pantyliner-nya, sih, lebih cepet kering, karena jauh lebih tipis.

Jadi, so far so good buat saya sejauh ini. Agak nyesel juga kenapa, kok, baru nyoba sekarang? 🙂

iPad Lama Rasa Baru

Pada suatu hari, tiba-tiba saya teringat sama iPad saya.

Selama ini, iPad saya bukannya hilang, sih, malah tergeletak persis di nakas sebelah tempat tidur saya. Namun, nggak begitu terlihat karena saya masukkan dalam iPad sleeve dan ditumpuk sama buku.

Mengapa bisa tiba-tiba teringat sama iPad? Karena mau baca buku elektronik. Selama ini baca di handphone, lama-lama ternyata nggak enak, ya? Hahahaha, ya iyalah…

iPad saya ini versi jadul banget, iPad Mini 2 kalo nggak salah. Saya beliin charger baru lagi, saya tes lagi, eh alhamdulillah masih nyala. Tujuannya waktu itu simpel: mau buat baca buku, khususnya e-book.

Koleksi e-book saya banyak banget. Selama ini nggak kebaca karena, ya, itu tadi, males baca di handphone.

Gayung bersambut, deh. iPad masih bisa nyala lagi, bisa baca e-book (dengan layak) lagi.

Alhamdulillah.

Birthday in the Time of Corona

Yesterday was my birthday. Yay! Happy birthday to me!

Ngerasain juga ulang tahun lagi pandemi gini, pas PSBB pula. Rasanya gimana? Menyenangkan 🙂

Menyenangkan karena seperti dikasih waktu buat memaknai ulang tahun secara berbeda. Lebih kenal sama diri sendiri, menikmati momen ulang tahun. FYI, dari dulu yang namanya ulang tahun selalu spesial buat saya. Excitement-nya bisa sudah dari 3 bulan sebelumnya.

Nah, “merayakan” ulang tahun di rumah saja, tanpa ada makan-makan rame tiup lilin, ternyata membuat hati saya penuh. Saya tetap merasakan perhatian dan kasih sayang dari teman-teman dan orang-orang terdekat saya.

Alhamdulillah. I am a happy 38 years old woman.

Mainan Pompom

I am obsessed with pompoms! 

Dari dulu saya suka banget pompom yang bulet-bulet warna-warni. Bisa beli aneka ukuran seplastik gede. Dari yang bulunya agak kasar sampe yang lembut banget mirip velvet.

Udah lama pengen membuat sesuatu yang “lebih” pake pompom koleksi saya. Sejauh ini, saya cuma pake buat menghias-hias, ditempel-tempel aja gitu di pajangan dan di kantong kertas pembungkus. Pengennya, sih, dipake buat hiasan korden atau baju.

Nah, pada suatu hari pas lagi beberes lemari, kepikiran lagi deh ide itu. Kebetulan saya punya stok kemeja putih lumayan banyak, boleh lah dipake satu untuk eksperimen.

IMG_8609

bongkar semua koleksi sambil trial and error

 

Dan, ini hasilnya!

IMG_8612   IMG_8625  IMG_8650

Terus terang saya seneng sama hasilnya. Pas dipake lucu banget! Udah kebayang nanti padu padannya gimana, pake tas apa, sepatu apa. Selain seneng, ya bangga juga, sih! Bisa ala-ala sustainable clothing walaupun belum sepenuhnya sustainable, sih!

Well, not bad for a start! 

Sebenernya, pengennya satu baju penuh dikasih pompom semua. Tapi, kemarin masih belum yakin. Mungkin percobaan berikutnya, deh!